Jumat, 25 Maret 2011

Muslimah Cantik, Bermahkota Rasa Malu


Muslimah cantik, menjadikan malu sebagai mahkota kemuliaannya…” (SMS dari seorang sahabat)
Membaca SMS di atas, mungkin pada sebagian orang menganggap biasa saja, sekedar sebait kalimat puitis. Namun ketika kita mau untuk merenunginya, sungguh terdapat makna yang begitu dalam. Ketika kita menyadari fitrah kita tercipta sebagai wanita, mahkluk terindah di dunia ini, kemudian Allah mengkaruniakan hidayah pada kita, maka inilah hal yang paling indah dalam hidup wanita. Namun sayang, banyak sebagian dari kita—kaum wanita—yang tidak menyadari betapa berharganya dirinya. Sehingga banyak dari kaum wanita merendahkan dirinya dengan menanggalkan rasa malu, sementara Allah telah menjadikan rasa malu sebagai mahkota kemuliaannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا ، وَإنَّ خُلُقَ الإسْلاَمِ الحَيَاء
“Sesungguhnya setiap agama itu memiliki akhlak dan akhlak Islam itu adalah rasa malu.” (HR. Ibnu Majah no. 4181. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain,
الحَيَاءُ وَالإيمَانُ قُرِنَا جَمِيعًا ، فَإنْ رُفِعَ أحَدُهُمَا رُفِعَ الآخَر
“Malu dan iman itu bergandengan bersama, bila salah satunya di angkat maka yang lainpun akan terangkat.”(HR. Al Hakim dalam Mustadroknya 1/73. Al Hakim mengatakan sesuai syarat Bukhari Muslim, begitu pula Adz Dzahabi)
Begitu jelas Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam memberikan teladan pada kita, bahwasanya rasa malu adalah identitas akhlaq Islam. Bahkan rasa malu tak terlepas dari iman dan sebaliknya. Terkhusus bagi seorang muslimah, rasa malu adalah mahkota kemuliaan bagi dirinya. Rasa malu yang ada pada dirinya adalah hal yang membuat dirinya terhormat dan dimuliakan.
Namun sayang, di zaman ini rasa malu pada wanita telah pudar, sehingga hakikat penciptaan wanita—yang seharusnya—menjadi perhiasan dunia dengan keshalihahannya, menjadi tak lagi bermakna. Di zaman ini wanita hanya dijadikan objek kesenangan nafsu. Hal seperti ini karena perilaku wanita itu sendiri yang seringkali berbangga diri dengan mengatasnamakan emansipasi, mereka meninggalkan rasa malu untuk bersaing dengan kaum pria.
Allah telah menetapkan fitrah wanita dan pria dengan perbedaan yang sangat signifikan. Tidak hanya secara fisik, tetapi juga dalam akal dan tingkah laku. Bahkan dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 228 yang artinya; ‘Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang sepatutnya’, Allah telah menetapkan hak bagi wanita sebagaimana mestinya. Tidak sekedar kewajiban yang dibebankan, namun hak wanita pun Allah sangat memperhatikan dengan menyesuaikan fitrah wanita itu sendiri. Sehingga ketika para wanita menyadari fitrahnya, maka dia akan paham bahwasanya rasa malu pun itu menjadi hak baginya. Setiap wanita, terlebih seorang muslimah, berhak menyandang rasa malu sebagai mahkota kemuliaannya.
Sayangnya, hanya sedikit wanita yang menyadari hal ini…
Di zaman ini justeru banyak wanita yang memilih mendapatkan mahkota ‘kehormatan’ dari ajang kontes-kontes yang mengekspos kecantikan para wanita. Tidak hanya sebatas kecantikan wajah, tapi juga kecantikan tubuh diobral demi sebuah mahkota ‘kehormatan’ yang terbuat dari emas permata. Para wanita berlomba-lomba mengikuti audisi putri-putri kecantikan, dari tingkat lokal sampai tingkat internasional. Hanya demi sebuah mahkota dari emas permata dan gelar ‘Miss Universe’ atau sejenisnya, mereka rela menelanjangi dirinya sekaligus menanggalkan rasa malu sebagai sebaik-baik mahkota di dirinya. Naudzubillah min dzaliik…
Apakah mereka tidak menyadari, kelak di hari tuanya ketika kecantikan fisik sudah memudar, atau bahkan ketika jasad telah menyatu dengan tanah, apakah yang bisa dibanggakan dari kecantikan itu? Ketika telah berada di alam kubur dan bertemu dengan malaikat yang akan bertanya tentang amal ibadah kita selama di dunia dengan penuh rasa malu karena telah menanggalkan mahkota kemuliaan yang hakiki semasa di dunia.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128) Di antara makna wanita yang berpakaian tetapi telanjang adalah wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya telanjang. (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 17/191)
Dalam sebuah kisah, ‘Aisyah radhiyyallahu ‘anha pernah didatangi wanita-wanita dari Bani Tamim dengan pakaian tipis, kemudian beliau berkata,
إن كنتن مؤمنات فليس هذا بلباس المؤمنات وإن كنتن غير مؤمنات فتمتعينه
“Jika kalian wanita-wanita beriman, maka (ketahuilah) bahwa ini bukanlah pakaian wanita-wanita beriman, dan jika kalian bukan wanita beriman, maka silahkan nikmati pakaian itu.” (disebutkan dalam Ghoyatul Marom (198). Syaikh Al Albani mengatakan, “Aku belum meneliti ulang sanadnya”)
Betapa pun Allah ketika menetapkan hijab yang sempurna bagi kaum wanita, itu adalah sebuah penjagaan tersendiri dari Allah kepada kita—kaum wanita—terhadap mahkota yang ada pada diri kita. Namun kenapa ketika Allah sendiri telah memberikan perlindungan kepada kita, justeru kita sendiri yang berlepas diri dari penjagaan itu sehingga mahkota kemuliaan kita pun hilang di telan zaman?
فَبِأَيِّ آَلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
Nikmat Rabb-mu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar Rahman: 13)
Wahai, muslimah…
Peliharalah rasa malu itu pada diri kita, sebagai sebaik-baik perhiasan kita sebagai wanita yang mulia dan dimuliakan. Sungguh, rasa malu itu lebih berharga jika kau bandingkan dengan mahkota yang terbuat dari emas permata, namun untuk mendapatkan (mahkota emas permata itu), kau harus menelanjangi dirimu di depan public.
Wahai saudariku muslimah…
Kembalilah ke jalan Rabb-mu dengan sepenuh kemuliaan, dengan rasa malu dikarenakan keimananmu pada Rabb-mu…

Saudariku, Apa yang Menghalangimu untuk Berjilbab? (1)


Saudariku…
Seorang mukmin dengan mukmin lain ibarat cermin. Bukan cermin yang memantulkan bayangan fisik, melainkan cermin yang menjadi refleksi akhlak dan tingkah laku. Kita dapat mengetahui dan melihat kekurangan kita dari saudara seagama kita. Cerminan baik dari saudara kita tentulah baik pula untuk kita ikuti. Sedangkan cerminan buruk dari saudara kita lebih pantas untuk kita tinggalkan dan jadikan pembelajaran untuk saling memperbaiki.

Saudariku…
Tentu engkau sudah mengetahui bahwa Islam mengajarkan kita untuk saling mencintai. Dan salah satu bukti cinta Islam kepada kita –kaum wanita– adalah perintah untuk berjilbab. Namun, kulihat engkau masih belum mengambil “kado istimewa” itu. Kudengar masih banyak alasan yang menginap di rongga-rongga pikiran dan hatimu setiap kali kutanya, “Kenapa jilbabmu masih belum kau pakai?” Padahal sudah banyak waktu kau luangkan untuk mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perintah jilbab. Sudah sekian judul buku engkau baca untuk memantapkan hatimu agar segera berjilbab. Juga ribuan surat cinta dari saudarimu yang menginginkan agar jilbabmu itu segera kau kenakan. Lalu kenapa, jilbabmu masih terlipat rapi di dalam lemari dan bukan terjulur untuk menutupi dirimu?
Mengapa Harus Berjilbab?
Mungkin aku harus kembali mengingatkanmu tentang alasan penting kenapa Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan perintah jilbab kepada kita –kaum Hawa- dan bukan kepada kaum Adam. Saudariku, jilbab adalah pakaian yang berfungsi untuk menutupi perhiasan dan keindahan dirimu, agar dia tidak dinikmati oleh sembarang orang. Ingatkah engkau ketika engkau membeli pakaian di pertokoan, mula-mula engkau melihatnya, memegangnya, mencobanya, lalu ketika kau jatuh cinta kepadanya, engkau akan meminta kepada pemilik toko untuk memberikanmu pakaian serupa yang masih baru dalam segel. Kenapa demikian? Karena engkau ingin mengenakan pakaian yang baru, bersih dan belum tersentuh oleh tangan-tangan orang lain. Jika demikian sikapmu pada pakaian yang hendak engkau beli, maka bagaimana sikapmu pada dirimu sendiri? Tentu engkau akan lebih memantapkan ’segel’nya, agar dia tetap ber’nilai jual’ tinggi, bukankah demikian? Saudariku, izinkan aku sedikit mengingatkanmu pada firman Rabb kita ‘Azza wa Jalla berikut ini,
“Katakanlah kepada wanita-wanita beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.’” (Qs. An-Nuur: 31)
Dan firman-Nya,
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenali, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Ahzaab: 59)
Saudariku tercinta, Allah tidak semata-mata menurunkan perintah jilbab kepada kita tanpa ada hikmah dibalik semuanya. Allah telah mensyari’atkan jilbab atas kaum wanita, karena Allah Yang Maha Mengetahui menginginkan supaya kaum wanita mendapatkan kemuliaan dan kesucian di segala aspek kehidupan, baik dia adalah seorang anak, seorang ibu, seorang saudari, seorang bibi, atau pun sebagai seorang individu yang menjadi bagian dari masyarakat. Allah menjadikan jilbab sebagai perangkat untuk melindungi kita dari berbagai “virus” ganas yang merajalela di luar sana. Sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Abul Qasim Muhammad bin ‘Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya,
“Wanita itu adalah aurat, jika ia keluar rumah, maka syaithan akan menghiasinya.” (Hadits shahih. Riwayat Tirmidzi (no. 1173), Ibnu Khuzaimah (III/95) dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir (no. 10115), dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma)
Saudariku, berjilbab bukan hanya sebuah identitas bagimu untuk menunjukkan bahwa engkau adalah seorang muslimah. Tetapi jilbab adalah suatu bentuk ketaatanmu kepada Allah Ta’ala, selain shalat, puasa, dan ibadah lain yang telah engkau kerjakan. Jilbab juga merupakan konsekuensi nyata dari seorang wanita yang menyatakan bahwa dia telah beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain itu, jilbab juga merupakan lambang kehormatan, kesucian, rasa malu, dan kecemburuan. Dan semua itu Allah jadikan baik untukmu. Tidakkah hatimu terketuk dengan kasih sayang Rabb kita yang tiada duanya ini?
“Aku Belum Berjilbab, Karena…”
1. “Hatiku masih belum mantap untuk berjilbab. Jika hatiku sudah mantap, aku akan segera berjilbab. Lagipula aku masih melaksanakan shalat, puasa dan semua perintah wajib kok..”
Wahai saudariku… Sadarkah engkau, siapa yang memerintahmu untuk mengenakan jilbab? Dia-lah Allah, Rabb-mu, Rabb seluruh manusia, Rabb alam semesta. Engkau telah melakukan berbagai perintah Allah yang berpangkal dari iman dan ketaatan, tetapi mengapa engkau beriman kepada sebagian ketetapan-Nya dan ingkar terhadap sebagian yang lain, padahal engkau mengetahui bahwa sumber dari semua perintah itu adalah satu, yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala?
Seperti shalat dan amalan lain yang senantiasa engkau kerjakan, maka berjilbab pun adalah satu amalan yang seharusnya juga engkau perhatikan. Allah Ta’ala telah menurunkan perintah hijab kepada setiap wanita mukminah. Maka itu berarti bahwa hanya wanita-wanita yang memiliki iman yang ridha mengerjakan perintah ini. Adakah engkau tidak termasuk ke dalam golongan wanita mukminah?
Ingatlah saudariku, bahwa sesungguhnya keadaanmu yang tidak berjilbab namun masih mengerjakan amalan-amalan lain, adalah seperti orang yang membawa satu kendi penuh dengan kebaikan akan tetapi kendi itu berlubang, karena engkau tidak berjilbab. Janganlah engkau sia-siakan amal shalihmu disebabkan orang-orang yang dengan bebas di setiap tempat memandangi dirimu yang tidak mengenakan jilbab. Silakan engkau bandingkan jumlah lelaki yang bukan mahram yang melihatmu tanpa jilbab setiap hari dengan jumlah pahala yang engkau peroleh, adakah sama banyaknya?
2. “Iman kan letaknya di hati. Dan yang tahu hati seseorang hanya aku dan Allah.”
Duhai saudariku…Tahukah engkau bahwa sahnya iman seseorang itu terwujud dengan tiga hal, yakni meyakini sepenuhnya dengan hati, menyebutnya dengan lisan, dan melakukannya dengan perbuatan?
Seseorang yang beramal hanya sebatas perbuatan dan lisan, tanpa disertai dengan keyakinan penuh dalam hatinya, maka dia termasuk ke dalam golongan orang munafik. Sementara seseorang yang beriman hanya dengan hatinya, tanpa direalisasikan dengan amal perbuatan yang nyata, maka dia termasuk kepada golongan orang fasik. Keduanya bukanlah bagian dari golongan orang mukmin. Karena seorang mukmin tidak hanya meyakini dengan hati, tetapi dia juga merealisasikan apa yang diyakininya melalui lisan dan amal perbuatan. Dan jika engkau telah mengimani perintah jilbab dengan hatimu dan engkau juga telah mengakuinya dengan lisanmu, maka sempurnakanlah keyakinanmu itu dengan bersegera mengamalkan perintah jilbab.
3. “Aku kan masih muda…”
Saudariku tercinta… Engkau berkata bahwa usiamu masih belia sehingga menahanmu dari mengenakan jilbab, dapatkah engkau menjamin bahwa esok masih untuk dirimu? Apakah engkau telah mengetahui jatah hidupmu di dunia, sehingga engkau berkata bahwa engkau masih muda dan masih memiliki waktu yang panjang? Belumkah engkau baca firman Allah ‘Azza wa Jalla yang artinya,
“Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, jika kamu sesungguhnya mengetahui.” (Qs. Al-Mu’minuun: 114)
“Pada hari mereka melihat adzab yang diancam kepada mereka, (mereka merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) waktu pelajaran yang cukup.” (Qs. Al-Ahqaaf: 35)
Tidakkah engkau perhatikan tetanggamu atau teman karibmu yang seusia denganmu atau di bawah usiamu telah menemui Malaikat Maut karena perintah Allah ‘Azza wa Jalla? Tidakkah juga engkau perhatikan si fulanah yang kemarin masih baik-baik saja, tiba-tiba menemui ajalnya dan menjadi mayat hari ini? Tidakkah semua itu menjadi peringatan bagimu, bahwa kematian tidak hanya mengetuk pintu orang yang sekarat atau pun orang yang lanjut usia? Dan Malaikat Maut tidak akan memberimu penangguhan waktu barang sedetik pun, ketika ajalmu sudah sampai. Setiap hari berlalu sementara akhiratmu bertambah dekat dan dunia bertambah jauh. Bekal apa yang telah engkau siapkan untuk hidup sesudah mati? Ketahuilah saudariku, kematian itu datangnya lebih cepat dari detak jantungmu yang berikutnya. Jadi cepatlah, jangan sampai terlambat…
4. “Jilbab bikin rambutku jadi rontok…”
Sepertinya engkau belum mengetahui fakta terbaru mengenai ‘canggih’nya jilbab. Dr. Muhammad Nidaa berkata dalam Al-Hijaab wa Ta’tsiruuha ‘Ala Shihhah wa Salamatus Sya’ri tentang pengaruh jilbab terhadap kesehatan dan keselamatan rambut,
“Jilbab dapat melindungi rambut. Penelitian dan percobaan telah membuktikan bahwa perubahan cuaca dan cahaya matahari langsung akan menyebabkan hilangnya kecantikan rambut dan pudarnya warna rambut. Sehingga rambut menjadi kasar dan berwarna kusam. Sebagaimana juga udara luar (oksigen) dan hawa tidaklah berperan dalam pertumbuhan rambut. Karena bagian rambut yang terlihat di atas kepala yang dikenal dengan sebutan batang rambut tidak lain adalah sel-sel kornea (yang tidak memiliki kehidupan). Ia akan terus memanjang berbagi sama rata dengan rambut yang ada di dalam kulit. Bagian yang aktif inilah yang menyebabkan rambut bertambah panjang dengan ukuran sekian millimeter setiap hari. Ia mendapatkan suplai makanan dari sel-sel darah dalam kulit.
Dari sana dapat kita katakan bahwa kesehatan rambut bergantung pada kesehatan tubuh secara umum. Bahwa apa saja yang mempengaruhi kesehatan tubuh, berupa sakit atau kekurangan gizi akan menyebabkan lemahnya rambut. Dan dalam kondisi mengenakan jilbab, rambut harus dicuci dengan sabun atau shampo dua atau tiga kali dalam sepekan, menurut kadar lemak pada kulit kepala. Maksudnya apabila kulit kepala berminyak, maka hendaklah mencuci rambut tiga kali dalam sepekan. Jika tidak maka cukup mencucinya dua kali dalam sepekan. Jangan sampai kurang dari kadar ini dalam kondisi apapun. Karena sesudah tiga hari, minyak pada kulit kepala akan berubah menjadi asam dan hal itu akan menyebabkan patahnya batang rambut, dan rambut pun akan rontok.” (Terj. Banaatunaa wal Hijab hal. 66-67)
5. “Kalau aku pakai jilbab, nanti tidak ada laki-laki yang mau menikah denganku. Jadi, aku pakai jilbabnya nanti saja, sesudah menikah.”
Wahai saudariku… Tahukah engkau siapakah lelaki yang datang meminangmu itu, sementara engkau masih belum berjilbab? Dia adalah lelaki dayyuts, yang tidak memiliki perasaan cemburu melihatmu mengobral aurat sembarangan. Bagaimana engkau bisa berpendapat bahwa setelah menikah nanti, suamimu itu akan ridha membiarkanmu mengulur jilbab dan menutup aurat, sementara sebelum pernikahan itu terjadi dia masih santai saja mendapati dirimu tampil dengan pakaian ala kadarnya? Jika benar dia mencintai dirimu, maka seharusnya dia memiliki perasaan cemburu ketika melihat auratmu terbuka barang sejengkal saja. Dia akan menjaga dirimu dari pandangan liar lelaki hidung belang yang berkeliaran di luar sana. Dia akan lebih memilih dirimu yang berjilbab daripada dirimu yang tanpa jilbab. Inilah yang dinamakan pembuktian cinta yang hakiki!
Maka, jika datang seorang lelaki yang meminangmu dan ridha atas keadaanmu yang masih belum berjilbab, waspadalah. Jangan-jangan dia adalah lelaki dayyuts yang menjadi calon penghuni Neraka. Sekarang pikirkanlah olehmu saudariku, kemanakah bahtera rumah tanggamu akan bermuara apabila nahkodanya adalah calon penghuni Neraka?
6. “Pakai jilbab itu ribet dan mengganggu pekerjaan. Bisa-bisa nanti aku dipecat dari pekerjaan.”
Saudariku… Islam tidak pernah membatasi ruang gerak seseorang selama hal tersebut tidak mengandung kemaksiatan kepada Allah. Akan tetapi, Islam membatasi segala hal yang dapat membahayakan seorang wanita dalam melakukan aktivitasnya baik dari sisi dunia maupun dari sisi akhiratnya. Jilbab yang menjadi salah satu syari’at Islam adalah sebuah penghargaan sekaligus perlindungan bagi kaum wanita, terutama jika dia hendak melakukan aktivitas di luar rumahnya. Maka dengan perginya engkau untuk bekerja di luar rumah tanpa jilbab justru akan mendatangkan petaka yang seharusnya dapat engkau hindari. Alih-alih mempertahankan pekerjaan, engkau malah menggadaikan kehormatan dan harga dirimu demi setumpuk materi.
Tahukah engkau saudariku, siapa yang memberimu rizki? Bukankah Allah -Rabb yang berada di atas ‘Arsy-Nya- yang memerintahkan para malaikat untuk membagikan rizki kepada setiap hamba tanpa ada yang dikurangi barang sedikitpun? Mengapa engkau lebih mengkhawatirkan atasanmu yang juga rizkinya bergantung kepada kemurahan Allah?
Apakah jika engkau lebih memilih untuk tetap tidak berjilbab, maka atasanmu itu akan menjamin dirimu menjadi calon penghuni Surga? Ataukah Allah ‘Azza wa Jalla yang telah menurunkan perintah ini kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan mengadzabmu akibat kedurhakaanmu itu? Pikirkanlah saudariku… Pikirkanlah hal ini baik-baik!
7. “Jilbab itu bikin gerah, dan aku tidak kuat kepanasan.”
Saudariku… Panas mentari yang engkau rasakan di dalam dunia ini tidak sebanding dengan panasnya Neraka yang akan kau terima kelak, jika engkau masih belum mau untuk berjilbab. Sungguh, dia tidak sebanding. Apakah engkau belum mendengar firman Allah yang berbunyi,
“Katakanlah: ‘(Api) Neraka Jahannam itu lebih sangat panas. Jika mereka mengetahui.’” (Qs. At-Taubah: 81)
Dan sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya,
“Sesungguhnya api Neraka Jahannam itu dilebihkan panasnya (dari panas api di bumi sebesar) enam puluh sembilan kali lipat (bagian).” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (no. 2843) dan Ahmad (no. 8132). Lihat juga Shahih Al-Jaami' (no. 6742), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu]
Manakah yang lebih sanggup engkau bersabar darinya, panasnya matahari di bumi ataukah panasnya Neraka di akhirat nanti? Tentu engkau bisa menimbangnya sendiri…
8. “Jilbab itu pilihan. Siapa yang mau pakai jilbab silakan, yang belum mau juga gak apa-apa. Yang penting akhlaknya saja benar.”
Duhai saudariku… Sepertinya engkau belum tahu apa yang dimaksud dengan akhlak mulia itu. Engkau menafikan jilbab dari cakupan akhlak mulia, padahal sudah jelas bahwa jilbab adalah salah satu bentuk perwujudan akhlak mulia. Jika tidak, maka Allah tidak akan memerintahkan kita untuk berjilbab, karena dia tidak termasuk ke dalam akhlak mulia.
Pikirkanlah olehmu baik-baik, adakah Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berakhlak buruk? Atau adakah Allah mengadakan suatu ketentuan yang tidak termasuk dalam kebaikan dan mengandung manfaat yang sangat besar? Jika engkau menjawab tidak ada, maka dengan demikian engkau telah membantah pendapatmu sendiri dan engkau telah setuju bahwa jilbab termasuk ke dalam sekian banyak akhlak mulia yang harus kita koleksi satu persatu. Bukankah demikian?
Ketahuilah olehmu, keputusanmu untuk tidak mengenakan jilbab akan membuat Rabb-mu menjadi cemburu, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda yang artinya,
“Sesungguhnya Allah itu cemburu dan seorang Mukmin juga cemburu. Adapun cemburunya Allah disebabkan oleh seorang hamba yang mengerjakan perkara yang diharamkan oleh-Nya.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 4925) dan Muslim (no. 2761)]
9. “Sepertinya Allah belum memberiku hidayah untuk segera berjilbab.”
Saudariku… Hidayah Allah tidak akan datang begitu saja, tanpa engkau melakukan apa-apa. Engkau harus menjalankan sunnatullah, yakni dengan mencari sebab-sebab datangnya hidayah tersebut.
Ketahuilah bahwa hidayah itu terbagi menjadi dua, yaitu hidayatul bayan dan hidayatut taufiq. Hidayatul bayan adalah bimbingan atau petunjuk kepada kebenaran, dan di dalamnya terdapat campur tangan manusia. Adapun hidayatut taufiq adalah sepenuhnya hak Allah. Dia merupakan peneguhan, penjagaan, dan pertolongan yang diberikan Allah kepada hati seseorang agar tetap dalam kebenaran. Dan hidayah ini akan datang setelah hidayatul bayan dilakukan.
Janganlah engkau jual kebahagiaanmu yang abadi dalam Surga kelak dengan dunia yang fana ini. Buanglah jauh-jauh perasaan was-wasmu itu. Tempuhlah usaha itu dengan berjilbab, sementara hatimu terus berdo’a kepada-Nya, “Allahummahdini wa saddidni. Allahumma tsabit qolbi ‘ala dinik (Yaa Allah, berilah aku petunjuk dan luruskanlah diriku. Yaa Allah, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu).”

Jangan Biarkan Amalan Berlalu Sia-Sia


 


Salah satu tujuan utama dalam beramal adalah mendapat pahala dari Allah ta’alla, lantas bagaimana jika amalan yang sangat diharapkan sebagai tabungan diakherat ternyata ‘kopong’ alias sia-sia dan tak tertulis sabagai amalan?
Bagaimana mungkin amalan akan diterima tatkala kita tidak mengetahui cara agar amalan bisa diterima dan mendapat ridho dari Allah? Apalagi jika barometer kesuksesan dalam beramal tatkala mendapat pujian belaka. Tak dapat diragukan lagi walaupun lisan ini mengatakan ‘Aku ikhlas’ namun ikhlas tak semudah hanya ucapan saja dan malahan perlu dicek lagi arti keikhlasannya. Baiklah marilah kita berusaha mengetahui kaidah-kaidah dalam beramal agar amalan kita tidak sia-sia. Dan ingatlah tak ada satu detik waktupun menjadi sia-sia dan berakhir penyesalan jika segera diikuti dengan taubat dan membenahi cara beramal dengan benar.
Amalan tidak lepas dari 2 hal yaitu ikhlas dan ittiba’.
  1. Ikhlas adalah niat dalam beramal, dan ikhlas merupakan ruh bagi amalan. Dalilnya, “Sesungguhnya amal-amal itu tergantung dengan niat dan sesungguhnya setiap orang itu mendapatkan balasan sesuai dengan yang diniatkannya.” (Muttafaqun’alaihi)
  2. Yang kedua adalah ittiba’. Iittiba’ adalah amalan hendaknya dilakukan sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ittiba’ ini laksana jiwa bagi amalan. Allah ta’ala berfirman, “Kataknlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ali Imran:31)
Kedua syarat tersebut jangan sampai tercecer, karena jika salah satu syarat hilang maka ia tidak benar (bukan amal shalih) dan tidak akan diterima di sisi Allah, diantara dalil yang memperkuat pernyataan tersebut,
“…Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” (Qs. AL Kahfi: 110)
Tidak Ikhlas Namun Ittiba’
Misalnya, melakukan shalat sesuai dengan rukun-rukun shalat yang telah dicontohkan Rasulullah, namun ditengah perjalanan shalat tersebut, ada orang yang melihat dan hati timbul rasa ingin memperbagus gerakan, memperlama waktu shalat, dll. Nah inilah perlu dipertanyakan keikhlasan shalatnya. Apakah shalat hanya mengharap wajah Allah ataukah disertai pula mengharap pujian orang lain?
Ikhlas Namun Tidak Ittiba’
Misalnya, mencari berkah dikuburan, mengkhususkan membaca surat yasin selama 7 hari setelah kematian. Mungkin mereka ikhlas melakukannya, namun sayangnya tidak ada contoh dari Rasulullah dan perbuatan tersebut bisa dikatakan bid’ah.
Pada artikel ini penulis akan lebih memperinci mengenai syarat yang pertama yaitu berkaitan dengan keikhlasan. Hendaknya dalam beramal selain mengetahui syarat-syarat beramal juga mengetahui bagaimana caranya agar dapat mewujudkan syarat-syarat tersebut dengan mudah.
Untuk mewujudkan keikhlasan dalam beramal ada beberapa cara :
  1. Do’a. Berdo’alah agar setiap amalan ikhlas karena Allah. Sebagai manusia tak lepas dari riya’, pamer dan suka dipuji. Khalifah besar seperti Umar Ibnul Khattab radhiyallahu’anhum yang merupakan shahabat Rasul dan sudah dijanjikan surga kepadanya  pun masih saja berdoa agar ikhlas dalam beramal. “Ya Allah jadikanlah amalku shalih semuanya dan jadikanlah ia ikhlas karena-Mu dan janganlah Engkau jadikan untuk seseorang dari amal itu sedikitpun.”
  2. Menyembunyikan amal. Sembunyikan amal seperti menyembunyikan keburukan, seperti perkataan Bisyr Ibnul Harits berkata, “Jangan kau beramal supaya dikenang. Sembunyikanlah kebaikanmu seperti kamu menyembunyikan kejelekanmu.”
  3. Memperhatikan amalan mereka yang lebih baik. Bacalah biografi-biografi dari para shahabat, tabi’in serta orang-orang terdahulu, sebagai suri teladan dalam beramal. Karena hidup di jaman sekarang ini terkadang dari penampakan terlihat bagus dan banyak yang meneladani, namun ternyata amalan-amalan bid’ah yang dilakukannya. Na’udzubillahi min dzalik
  4. Memandang remeh apa yang telah diamalkan. Terkadang manusia terjebak dengan godaan setan, yaitu melakukan sedikit amal dan merasa kagum dengan sedikit amal tersebut. Dan akibatnya bisa fatal, karena bisa jadi satu amal kebaikan bisa memasukkan manusia ke neraka. Seperti perkataan Sa’d bin Jubair, “Ada seseorang yang masuk surga karena sebuah kemaksiatan yang dilakukannya dan ada yang masuk neraka karena sebuah kebaikan yang dilakukannya. Seseorang yang melakukan maksiat setelah itu ia takut dan cemas terhadap siksa Allah karena dosanya, kemudian menghadap Allah dan Allah mengampuninya karena rasa takutnya kepada-Nya dan seseorang berbuat suatu kebaikan lalu ia senantiasa mengaguminya kemudian ia pun menghadap Allah dengan sikapnya itu maka Allah pun mencampakkannya ke dalam neraka.
  5. Khawatir kalau-kalau amalnya tidak diterima. Poin ini berkaitan dengan poin sebelumnya, bahwa lebih baik menganggap remeh amal yang telah diperbuat agar dapat menjaga hati ini dari rasa kagum terhadap amal yang telah diperbuat.
  6. Tidak terpengaruh dengan ucapan orang. Orang yang mendapat taufik adalah orang yang tidak terpengaruh dengan pujian orang. Ibnul Jauzy (Shaidul Khaathir) berkata, “Bersikap acuh terhadap orang lain serta menghapus pengaruh dari hati mereka dengan tetap beramal shaleh disertai niat yang ikhlas dengan berusaha untuk menutup-nutupinya adalah sebab utama yang mengangkat kedudukan orang-orang yang mulia.”
  7. Senantiasa ingat bahwa surga dan neraka bukan milik manusia. Manusia tidak dapat memberikan manfaat maupun menimpakan bencana kepada manusia, begitu pula manusia bukanlah pemilik surga maupun neraka. Manusia tidak bisa memasukkan manusia lain ke surga dan mengeluarkan manusia lain keluar dari neraka,lantas untuk apalagi beramal demi manusia, agar dipuji atasan, agar disanjung mertua, atau agar datang simpati dari manusia lain?
  8. Ingatlah bahwa Anda akan berada dalam kubur sendirian. Jiwa akan menjadi lebih baik tatkala ingat tempat ia kembali. Bahwa ia akan beralaskan tanah dikuburnya sendiri, tak ada yang menemani, ingat bahwa manusia tidak dapat meringankan siksa kuburnya, seluruh urusannya berada ditangan Allah. Ketika itulah ia yakin bahwa tidak ada yang dapat menyelamatkannya kecuali dengan mengikhlaskan seluruh amalnya hanya kepada Allah Yang Maha Pencipta semata.
Semoga kita senantiasa diberikan kemudahan oleh Allah untuk mengamalkan ilmu dengan disertai keikhlasan dalam mengamalkannya tersebut. Ingatlah bahwa hanya Allah yang dapat membolak-balikkan hati hamba-Nya.

Rabu, 16 Maret 2011

CINTA, DALAM REALITAS DAN KHAYALAN

Halimi Zuhdy

Mata tertunduk hanya kedipan, tubuh tertirai hanya gerakan, mulut bungkam hanya tasbih, kaki beku hanya langkah kecil, tangan kaku hanya wiridan, tak ada rasa kecuali “cinta”.
Ketika cinta sudah berbicara, semua menjadi tak nyata, seakan-akan semuanya adalah sorga, duri menjadi rumput-rumput yang indah, pedang menjadi pisang yang siap santap, bom hanyalah sebuah gertakan, tapi seperti donat yang empuk, amarah tak lagi terhiraukan, tubuh tak lagi menjadi sebuah dambaan, kemolekan sudah tak terpandang, semua tirai teungkap dibalik anggukan, khayalan tak lagi menjadi khayal, kerena ia sebuah kenyataan, kenyataan menjadi semakin nyata ketika sudah ada pernyataan.
Ibnu khazm al-Andalusi dalam puisinya
Jalan tak sealu panjang
Jarak tak selalu anggang
Walau tajam, itu pedang bisa patah
Walau buas, itu macan bisa berubah

Meski kasar, begitu gampang aku tertawan
Bak serigala, diam dalam tawanan cerdik –cendekiawan
Mati dalam cintamu sungguh puncak kenikmatn
Betapa mengherankan, ada rang menikmati kebinasaan

Cinta memang sulit dikhayalkan apalagi dirasionalisasikan, ia seakan-akan batu yang tidak keras, seakan lautan yang dangkal, sungai yang pendek, langit yang sempit, bumi yang kecil, gunung  bak bukit, tak ada kehebatan, semuanya hanyalah keyakinan dan pandangan, dalam cinta semuanya tak lebih dari sebuah keyakinan.
Ia tak bisa dinyatakan hanya dengan ungkapan, semuanya menjadi kaku, Bilal bin Rabah, di antara perindu beratnya, suara emasnya yang mampu menggetarkan manusia, berhenti berazan ketika ia mendengar kekasihnya menghadap rabbul izati. Orang-orang pada kalang-kabut, karena suara merdunya tak lagi bersayuh, mereka bingung. Akhirnya, setelah didesak banyak orang -termasuk Fatimah a.s-  Bilal mulai mengumandangkan azan. Ketika sampai kata “wa asyhadu anna Muhammad…”, ia berhenti, suaranya tersekat ditenggorokan, ia menangis keras. Nama “Muhammad”, kekasih yang baru saja kembali pada hadirat-Nya, menggetarkan jantung Bilal. Bilal bukan tidak mau menyebut nama Rasulullah Saw, Muhammad Saw. Adalah nama insan yang paling indah baginya. Justru karena cintanya kepada Rasulullah Saw., nama beliau sering diingat, disebut, dan dilagukan. Bilal berhenti azan, hanya karena nama itu mengingatkan dia kepada kehilangan besar yang bukan saja memukul Bilal, tapi seluruh kaum muslimin.

Kecintaan lain yang luar biasa :
Suatu hari Urwah AL-Tsaqafi, salah seorang utusan Makkah melaporkan kepada kaumnya, “orang Islam itu luar biasa! Demi Allah, aku pernah menjadi utusan menemui raja-raja. Aku pernah berkunjung kepada Kaisar, Kisra, dan Najasi. Demi Allah, belum pernah aku melihat sahabat-sahabat mengagungkan Muhammad. Demi Allah, jika ia meludah, ludahnya selalu jatuh pada telapak tangan salah seorang di antara mereka. Ia usapkan ludah itu kewajahnya dan kulitnya. Bila ia memerintah, mereka berlomba melaksanakannya; bila ia hendak berwudhu, mereka hampir berkelahi untuk memperebutkan air wudhunya. Bila ia berbicara, mereka merendahkan suara di hadapannya. Mereka menundukkan pandangan di hadapannya karena memuliakannya (shahih Bukhari 3 :255). Dan dalam peristiwa lain, Ummu Sulaym menampung keringat beliau pada sebuah botol, sedangkan beliau dalam keadaaan tidur, dan setelah bangun, Nabi Saw bertanya, “apa yang kamu lakukan wahai Ummu Sulaym?” ia menjawab, “Ya Rasulallah, kami mengharapkan berkahnya buat anak-anak kami.” Mendengar, Nabi Saw. Bersabda, “Ashabti, Engkau benar (Musnad Ahmad 3 : 221-226)

Memang cinta, sepenuhnya kembali pada diri, bagaimana ia membawa dirinya untuk bercinta, bercinta dengan sepenuh hati, akan mendustakan diri sendiri, jika masih dibalut oleh kemunafikan. Mencintai adalah hak preogratif diri, yang tidak mampu dibendung oleh siapa pun, karena semuanya adalah karunia dari Tuhan, asal tidak salah memaknai, antara nafsu dan cinta, yang selalu sulit dibedakan, maka bercintalah atas nama-Nya, semuanya menjadi jalan yang indah.

Rabu, 09 Maret 2011

Wanita Yang Mendapat Pujian Dan Wanita Yang Dilakanat Allah

Sejarah telah mencatat beberapa nama wanita terpandang yang di antara mereka ada yang dimuliakan Allah dengan surga, dan di antara mereka ada pula yang dihinakan Allah dengan neraka. Karena keterbatasan tempat, tidak semua figur bisa dihadirkan saat ini, namun mudah-mudahan apa yang sedikit ini bisa menjadi ibrah (pelajaran) bagi kita.
Wanita Yang Beriman
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Seutama-utama wanita ahli surga adalah Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, Maryam binti Imran dan Asiyah binti Muzahim.” (HR. Ahmad)
1. Khadijah binti Khuwailid
Dia tumbuh dalam lingkungan keluarga yang terhormat sehingga mendapat tempaan akhlak yang mulia, sifat yang tegas, penalaran yang tinggi, dan mampu menghindari hal-hal yang tidak terpuji sehingga kaumnya pada masa jahiliyah menyebutnya dengan ath thahirah (wanita yang suci).
Dia merupakan orang pertama yang menyambut seruan iman yang dibawa Muhammad tanpa banyak membantah dan berdebat, bahkan ia tetap membenarkan, menghibur, dan membela Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di saat semua orang mendustakan dan mengucilkan beliau. Khadijah telah mengorbankan seluruh hidupnya, jiwa dan hartanya untuk kepentingan dakwah di jalan Allah. Ia rela melepaskan kedudukannya yang terhormat di kalangan bangsanya dan ikut merasakan embargo yang dikenakan pada keluarganya.
Pribadinya yang tenang membuatnya tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan mengikuti kebanyakan pendapat penduduk negerinya yang menganggap Muhammad sebagai orang yang telah merusak tatanan dan tradisi luhur bangsanya. Karena keteguhan hati dan keistiqomahannya dalam beriman inilah Allah berkenan menitip salamNya lewat Jibril untuk Khadijah dan menyiapkan sebuah rumah baginya di surga.
Tersebut dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah, ia berkata:
Jibril datang kepada Nabi kemudian berkata: Wahai Rasulullah, ini Khadijah datang membawa bejana berisi lauk pauk, makanan dan minuman. Maka jika ia telah tiba, sampaikan salam untuknya dari Rabbnya dan dari aku, dan sampaikan kabar gembira untuknya dengan sebuah rumah dari mutiara di surga, tidak ada keributan di dalamnya dan tidak pula ada kepayahan.” (HR. Al-Bukhari).
Besarnya keimanan Khadijah pada risalah nubuwah, dan kemuliaan akhlaknya sangat membekas di hati Rasulullah sehingga beliau selalu menyebut-nyebut kebaikannya walaupun Khadijah telah wafat. Diriwayatkan dari Aisyah, beliau berkata: “Rasulullah hampir tidak pernah keluar dari rumah sehingga beliau menyebut-nyebut kebaikan tentang Khadijah dan memuji-mujinya setiap hari sehingga aku menjadi cemburu maka aku berkata: Bukankah ia seorang wanita tua yang Allah telah meng-gantikannya dengan yang lebih baik untuk engkau? Maka beliau marah sampai berkerut dahinya kemudian bersabda: Tidak! Demi Allah, Allah tidak memberiku ganti yang lebih baik darinya. Sungguh ia telah beriman di saat manusia mendustakanku, dan menolongku dengan harta di saat manusia menjauhiku, dan dengannya Allah mengaruniakan anak padaku dan tidak dengan wanita (istri) yang lain. Aisyah berkata: Maka aku berjanji untuk tidak menjelek-jelekkannya selama-lamanya.”
2. Fatimah
Dia adalah belahan jiwa Rasulullah, putri wanita terpandang dan mantap agamanya, istri dari laki-laki ahli surga yaitu Ali bin Abi Thalib.
Dalam shahih Muslim menurut syarah An Nawawi Nabi bersabda: “Fathimah merupakan belahan diriku. Siapa yang menyakitinya, berarti menyakitiku.”
Dia rela hidup dalam kefakiran untuk mengecap manisnya iman bersama ayah dan suami tercinta. Dia korbankan segala apa yang dia miliki demi membantu menegakkan agama suami.
Fathimah adalah wanita yang penyabar, taat beragama, baik perangainya, cepat puas dan suka bersyukur.

3. Maryam binti Imran

Beliau merupakan figur wanita yang menjaga kehormatan dirinya dan taat beribadah kepada Rabbnya. Beliau rela mengorbankan masa remajanya untuk bermunajat mendekatkan diri pada Allah, sehingga Dia memberinya hadiah istimewa berupa kelahiran seorang Nabi dari rahimnya tanpa bapak.

4. Asiyah binti Muzahim

Beliau adalah istri dari seorang penguasa yang lalim yaitu Fir’aun laknatullah ‘alaih. Akibat dari keimanan Asiyah kepada kerasulan Musa, ia harus rela menerima siksaan pedih dari suaminya. Betapapun besar kecintaan dan kepatuhannya pada suami ternyata di hatinya masih tersedia tempat tertinggi yang ia isi dengan cinta pada Allah dan RasulNya. Surga menjadi tujuan akhirnya sehingga kesulitan dan kepedihan yang ia rasakan di dunia sebagai akibat meninggalkan kemewahan hidup, budaya dan tradisi leluhur yang menyelisihi syariat Allah ia telan begitu saja bak pil kina demi kesenangan abadi. Akhirnya Asiyah meninggal dalam keadaan tersenyum dalam siksaan pengikut Fir’aun.
Dari Abu Hurairah, Nabi Shallallahu alaihi wasalam berkata:
“Fir’aun memukulkan kedua tangan dan kakinya (Asiyah) dalam keadaan terikat. Maka ketika mereka (Fir’aun dan pengikutnya) meninggalkan Asiyah, malaikat menaunginya lalu ia berkata: Ya Rabb bangunkan sebuah rumah bagiku di sisimu dalam surga. Maka Allah perlihatkan rumah yang telah disediakan untuknya di surga sebelum meninggal.”
Wanita yang durhaka
1. Istri Nabi Nuh
2. Istri Nabi Luth
Mereka merupakan figur dua orang istri dari para kekasih Allah yang tidak sempat merasakan manisnya iman. Hatinya lebih condong kepada apa yang diikuti oleh orang banyak daripada kebenaran yang dibawa oleh suaminya. Mereka justru membela kepentingan kaumnya karena tidak ingin dimusuhi dan dibenci oleh orang-orang yang selama ini mencintai dan menghormati dirinya. Maka kesenangan sesaat ini Allah gantikan dengan kebinasaan yang didapat bersama kaumnya. Istri Nabi Nuh ikut tenggelam oleh banjir besar bersama kaumnya yang menyekutukan Allah dengan menyembah patung-patung orang shalih, sedangkan istri Nabi Luth ditelan bumi karena adzab Allah atas kaumnya yang melakukan liwath (homoseksual).
Semua cerita ini telah Allah rangkum dalam sebuah firmanNya yang indah dalam surat At-Tahrim ayat 10-12, yang artinya: “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shalih di antara hamba-hamba Kami, lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah: dan dikatakan (kepada keduanya) : Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka). Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisimu dalam Surga. Dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang dhalim. Dan Maryam puteri Imran yang memelihara kehor-matannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan kitab-kitabnya dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat.”
Semoga kisah para wanita ini bisa menjadi pelajaran bagi para wanita zaman ini untuk berkaca diri, kira-kira saya termasuk golongan yang mana? Apakah golongan yang dicintai Allah atau yang dimurkaiNya?
Bagi wanita yang belum berumah tangga, saat ini merupakan kesempatan besar baginya untuk memperbanyak amalan shalih dan mendekatkan diri pada Allah, bukannya justru menghabiskan masa mudanya dengan hura-hura dan kegiatan lain yang tidak bermanfaat. Dan bagi mereka yang sudah berumah tangga, selain menjaga keistiqomahannya dalam berIslam dia juga diberi beban tambahan oleh Allah untuk membantu suami menjalankan agamanya. Istri yang demikian meru-pakan harta yang paling berharga.
Dari kisah mereka, kita juga bisa mengambil pelajaran bahwa dalam keadaan bagaimanapun, hendaknya ketundukan kepada syariat Allah dan RasulNya harus tetap di atas segala-galanya. Asalkan berada di atas kebenaran, kita tidak perlu takut dibenci oleh masyrakat, sahabat, maupun orang yang paling istimewa di hati kita. Justru kewajiban kita adalah menunjukkan yang benar kepada mereka. Dengan begitu kita akan mendapatkan cinta sejati .. cinta Allah Rabbul ‘alamin.
Mudah-mudahan kita selalu diberi keistiqomahan untuk menapaki dan mengamalkan syariat yang haq (benar) walaupun kita seorang diri. Amin.
Maraji’:
1. Ahkamun Nisa’, Ibnul Jauzi.
2. Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-Atsqalani.
3. Tuhfatul Ahwadzi, Al Mubarakfuri.
4. Wanita-wanita Shalihat Dalam Lintas Sejarah Islam, Muhyidin Abdul Hamid.

Kalau Sudah Tahu Kedudukan Shalat, Masihkan akan Meremehkannya!


Oleh: Badrul Tamam
Wahai saudariku, aku yakin bahwa engkau sudah mengetahui hukum shalat lima waktu. Ia adalah kewajiban yang Allah turunkan dari atas langit ke tujuh. Ia merupakan rukun kedua dari rukun Islam yang lima, rukun Islam amali yang paling besar sesudah dua kalimat syahadat. 
Shalat memiliki kedudukan yang tinggi di antara macam-macam ibadah dalam Islam. Bahkan kedudukannya tidak bisa disamai dengan ibadah selainnya. Shalat adalah tiang agama yang tidak bisa tegak dien ini tanpanya.
Allah telah memerintahkannya sesudah perintah mentauhidkanNya. Firman Allah Ta’ala:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Shalat juga menjadi ciri khas utama bagi kaum mukminin dan mukminat, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 71)
Allah juga berfirman tentang orang yang menyia-nyiakan shalat, tidak memperhatikan akan syarat dan rukunnya, tidak menunaikan tepat pada waktunya, serta sering meninggalkannya;
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam: 59)
Hadits-hadits yang menunjukkan akan keutamaannya sangat banyak sekali. Diriwayatkan dari Nabi SAW akan kekufuran orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja melalui sabdanya:
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“(Perbedaan) antara seorang muslim dan kafir, (ketika) meninggalkan shalat.” (HR. Muslim)
Dan kaum wanita masuk dalam hukum ini. Ada juga sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang lebih jelas menerangkan bahwa orang yang meninggalkan satu shalat saja dengan sengaja akan menghapuskan amal shalihnya. “Siapa yang meninggalkan shalat ‘Ashar, pasti amalnya terhapus.” (HR. al-Bukhari)
Shalat adalah amalan yang pertama kali akan dihisab (dihitung) atas hamba pada hari kiamat. Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhushallallahu 'alaihi wasallam bersabda: berkata: aku mendengar Nabi
Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari amal hamba adalah shalat. Jika shalatnya baik ia benar-benar telah beruntung dan sukses. Dan jika shalatnya rusak benar-benar telah celaka dan merugi.” (HR. at-Tirmidzi dan an-Nasa’i).
Harapan
Setelah mengetahui hukum shalat dan besarnya dosa orang yang meninggalkannya. Maka selayaknya, kaum muslimah memperhatikan urusan shalat. Jangan menelantarkannya karena alasan aktifitas-aktifitas yang lain.
Namun sebagian wanita muslimah, baik ibu-ibu atau yang masih gadis, sering meninggalkan shalat karena kebodohannya terhadap kedudukannya, atau karena meremehkan dan bermalas-malasan, atau terpaksa meninggalkannya karena kesibukan rumah tangga dan mengurus anak-anaknya, alasan pekerjaan, mengajar, dan alasan-alasan lainnya. Kami memohon kepada Allah untuk melimpahkan hidayah dan kebaikan untuk Anda wahai saudariku kaum muslimah!

Kecantikan Wanita Itu Bernama Pengabdian



Ketika seorang wanita memasuki gerbang pernikahan, maka kehidupan "normalnya" akan sedikit mengalami perubahan. Bagi yang sebenarnya belum siap, maka seiring dengan berjalannya waktu,mereka akan merasa bahwa banyak hal yang akan atau telah terampas selama mereka menjadi seorang istri dan pendamping. Namun bagi yang melangkah dengan ilmu dan dengan dasar beribadah dengan Allah, betapapun berat jalan ke depannya, hal itu akan dilalui dengan tenang dan ikhlas.

Pernahkah kita melihat seorang istri yang menyuguhkan wajah kurang sopan setelah mengetahui hal yang dilakukannya kurang mendapat penghargaan dari suami?. Ternyata disinilah cara cantik Allah dalam mengajarkan indahnya keikhlasan kepada para wanita. Keikhlasan dalam pengabdian. Dan hasil akhirnya tergantung para istri itu sendiri, tetap bersabar, ikhlas dan tawakkal, ataukah memilih jalan emosi dan perasaannya saja. Namun, satu hal yang pasti, Allah adalah yang maha membalas atas pilihan hidup yang kita jalankan.
Subhanallah, pernahkah kita berpikir betapa indah cara mendidik Allah yang tetuang dalam sebuah pengabdian kepada para suami kita?. Tidak bisa kita pungkiri bahwa para laki laki, adalah pemimpin para wanita. Namun, walaupun beliaunya adalah seorang pemimpin,  mereka tetaplah manusia biasa. Para suami  bukanlah seorang tanpa cela, adakalanya pula mereka berbuat kesalahan yang sama dengan yang dilakukan para istri. Bukankah tiada yang sempurna kecuali Allah subhana wata'ala. Jika sebuah kekurangan dalam diri suami tersebut disikapi dengan kehangatan sikap sebagai sebuah pengabdian sang istri, maka hal tersebut justru menjadikan Puncak dan sekaligus landasan bagi segala daya tarik seorang istri.
Ketika suami yang melihat ketekunan istrinya menjalankan ibadah dan mengikhlaskan segala cinta, aktifitas dan kerja-kerjanya semata untuk mengharapkan keridhoan Ilahi, tentu saja akan semakin menghangat hatinya, dan keinginan untuk menjadi lebih baik dalam segala halpun InsyaAllah akan semakin menguat. Dan, yang terindah dari semua itu, sang istri akan menggapai kemuliaan dirinya di hadapan Allah Penguasa Alam Semesta dan di hadapan segenap makhlukNya.

Ternyata memanglah benar, mengabdi bukan berarti membungkam kekuatan wanita. Lewat sikap ini, wanita menunjukkan bahwa dia bukan hanya mahluk yang memiliki kelembutan hati dan tutur serta sikap santun, akan kekuatan tersembunyi yang luar biasa.

Pahit getir kehidupan serta kepedihan seringkali dihadapi istri dalam mendampingi suami. Tidak jarang pula cobaan-cobaan tersebut terkadang serasa di luar batas kesanggupannya sebagai individu untuk menghadapinya, namun ketika pengabdian sudah terpatri dalam hati, maka siapapun akan terperangah, bagaimana mahluk yang kita pandang lemah lembut dan ringkih, wanita, bisa menghadapi semua itu.

Dalam pengabdian, juga terkandung makna menutupi aib dan atau kekurangan pasangan kita.Susah memang untuk tetap tersenyum menghadapi kenyataan yang mungkin bahkan jika kekurangan suami kita telah diketahui begitu banyak manusia di luar sana.
Memanglah tidak semudah mengatakan untuk selalu tersenyum sambil menceritakan kebaikan-kebaikan suami kita sedangkan disisi lain kitapun mengetahui segala keburukannya. Namun sekali lagi, jika hal tersebut disikapi dengan kehangatan sikap sebagai sebuah pengabdian sang istri, maka hal tersebut justru menjadikan Puncak dan sekaligus landasan bagi segala daya tarik seorang istri.
Bukan main ternyata akhlak yang dimiliki wanita yang benar-benar mengabdi pada suami mereka atas dasar beribadah kepada Allah subhanahu wata'ala.

(Syahidah)